Selasa, 02 April 2013

Petaka Ebe dan Wawa




PPL (Program Pendalaman Lapangan) merupakan saat-saat yang paling gw gak akan pernah lupakan. Selama 3 bulan gw dan ketiga teman gw Rahmah, Ratih, dan Arum praktek mengajar di sebuah SLB di kawasan Jakarta Timur.  Sebernarnya sih 4 bulan tapi 1 bulannya itu untuk observasi dan diskusi dengan guru pamong masing-masing. Gw kebagian mengajar di SMPLB sedangkan Rahmah dapat bagian mengajar di TKLB atau kelas persiapan, Ratih mengajar SDLB kelas 1-3, dan Arum mengajar di SDLB kelas 4-5. Kami sepakat tidak menggunakan kelas 6 karena persiapan UAN.

Pada bulan kedua PPL tiba saatnya kami rolling, pada minggu pertama gw mengajar di kelas persiapan, lalu minggu kedua di kelas 1-3, dan minggu ketiga di kelas 4-5.  Tapi diantara semua kelas tersebut  kelas 1 adalah kelas yang menurut kami horor dan dikeramatkan (apaan sih!!). Kelas itu menjadi horor karena siswanya susah banget dikondisikan padahal sekelas hanya berisi 5 murid yang bikin horor karena ada 1 anak Down Syndrome yang sebut saja Wawa yang sangat hiperaktif, suka meludah, lempar-lempar buku maupun tas, narik-narik jilbab, dan teriak-teriak. Belum lagi temannya si Ebe yang Autis bertingkah laku sama. Belum lagi korban kejahilannya si Wawa, sebut saja Iin yang luar biasa cengengnya yang dikit-dikit nangis. Membuat kami semua harus putar otak untuk menciptakan suasana belajar yang aman, nyaman, tentram tanpa ada korban jiwa.

Tiba akhirnya giliran gw rolling ke kelas 1. Sebelum itu gw berkonsultasi ke Bu Siska, guru kelasnya yang kebetulan juga guru pamong materi apa yang kiranya cocok untuk mereka namun tidak keluar dari SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar) dalam kurikulum. Dengan sikap lemah lembutnya Bu Siska memberikan saran mata pelajaran serta SK dan KD yang cocok. Selain berkonsultasi dengan guru kelas, gw juga konsultasi dengan si Ratih karena dia sudah bisa nanganin 2 anak hiper itu. Ratih bilang kalau. ada satu murid yang seolah-olah jadi satpamnya mereka berdua, jadi kalau mereka mulai berulah maka dia yang akan bertindak untuk meredamnya. Gw memutuskan untuk pelajaran Bahasa Indonesia menyebutkan kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu benda karena mereka masih kesulitan untuk berbicara. Gw menyiapkan media pembelajaran berupa gambar-gambar benda yang nantinya ditempel di papan tulis.

Waktunya eksekusi pun tiba, konon menurut Bu Siska mereka berdua menjadi lebih liar ketika jam kedua setelah istirahat. Gw terpaksa mengajar di jam kedua karena pada jam pertama mereka olahraga. Gw masuk kelas dengan sangat pede, lalu gw memberi salam kepada mereka sambil menghitung murid yang hadir. Bu Siska di belakang kelas mengamati kinerja mengajar gw dan membaca RPP yang gw buat.  Ternyata ada 1 yang tidak datang, setelah gw perhatikan lagi ternyata yang tidak datang itu si satpam. Gw panik namun pada saat itu juga gw mencoba tetap tenang, gw berpikir dengan sedikit kesabaran maka gw bisa menaklukkan mereka. Kegiatan belajar berjalan sesuai apa yang gw rancang dalam RPP. Semua siswa mau berbicara menyebutkan gambar benda-benda yang gw tunjukkan kemudian mereka menempelkan sesuai dengan tabel yang gw tempel di papan tulis sampai pada penutup semuanya lancar.

Petaka dimulai ketika mendekati jam pulang, mereka semua terlihat wujud aslinya layaknya manusia serigala yang berubah ketika bulan purnama. Si Ebe mulai menggoyang-goyang meja dan membuat si Wawa melempar buku ke arah si Ebe akhirnya terjadilah perang buku dan perang ludah diantara mereka. Gw berusaha menenangkan  dan memisahkan mereka tetapi gw malah kena ludahan mereka. Bu Siska dengan tegasnya mulai turun tangan dengan memarahi Ebe dan Wawa. Gw kaget karena Bu Siska seperti 2 kepribadian yang berbeda. Sepengamatan gw sebelum-sebelumnya  dia adalah orang yang sabar dan lemah lembut namun kali ini sepertinya tanduknya mulai keluar.

Emang dasar anak autis si Ebe abis dimarahin sama Bu Siska seperti tidak merasakan apa-apa, ia hanya bicara dengan nada seperti robot ”papa Ebe mana? Papa Ebe mana? Ebe bukan anak nakal. Ebe anak baik.” Sedangkan si Wawa menangis lalu memeluk gw. Pada awalnya gw merasa anak ini manis sekali lalu semuanya berubah menjadi pahit ketika ia menggigit punggung gw. Gw teriak kesakitan dan berusaha melepas gigitannya dari punggung gw namun bukannya dilepas si Wawa malah menarik jilbab gw sampe lepas. Bu siska yang melihat kejadian itu langsung melerai bocah itu lalu menenangkan gw. Tak lama kemudian kelas dibubarkan.

Setelah membetulkan jilbab gw dan sudah merasa lebih tenang. Bu Siska melaporkan hasil pengamatannya ke gw. Perasaannya gw pun campur aduk, gw merasa hari ini gagal karena gw gak bisa mengkondisikan siswa dengan baik. Menurutnya cara ngajar gw sudah bagus karena semua siswa ikut aktif dalam kegiatannya dan Bu siska tidak mempersalahkan petaka tadi sebelum pulang karena kejadian itu hampir setiap hari terjadi. Gw merasa lega sekaligus salut dengan Bu Siska karena ia bisa menjadi guru yang sangat sabar namun ia juga bisa menjadi seorang guru yang sangat tegas oleh karena itu dia mengkondisikan 2 bocah hiper itu dengan baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar