.
PPL (Program
Pendalaman Lapangan) merupakan saat-saat yang paling gw gak akan pernah
lupakan. Selama 3 bulan gw dan ketiga teman gw Rahmah, Ratih, dan Arum praktek
mengajar di sebuah SLB di kawasan Jakarta Timur. Sebernarnya sih 4 bulan tapi 1 bulannya itu
untuk observasi dan diskusi dengan guru pamong masing-masing. Gw kebagian
mengajar di SMPLB sedangkan Rahmah dapat bagian mengajar di TKLB atau kelas
persiapan, Ratih mengajar SDLB kelas 1-3, dan Arum mengajar di SDLB kelas 4-5.
Kami sepakat tidak menggunakan kelas 6 karena persiapan UAN.
Pada bulan kedua
PPL tiba saatnya kami rolling, pada minggu pertama gw mengajar di kelas
persiapan, lalu minggu kedua di kelas 1-3, dan minggu ketiga di kelas 4-5. Tapi diantara semua kelas tersebut kelas 1 adalah kelas yang menurut kami horor
dan dikeramatkan (apaan sih!!). Kelas itu menjadi horor karena siswanya susah
banget dikondisikan padahal sekelas hanya berisi 5 murid yang bikin horor
karena ada 1 anak Down Syndrome yang sebut saja Wawa yang sangat hiperaktif,
suka meludah, lempar-lempar buku maupun tas, narik-narik jilbab, dan
teriak-teriak. Belum lagi temannya si Ebe yang Autis bertingkah laku sama. Belum
lagi korban kejahilannya si Wawa, sebut saja Iin yang luar biasa cengengnya
yang dikit-dikit nangis. Membuat kami semua harus putar otak untuk menciptakan
suasana belajar yang aman, nyaman, tentram tanpa ada korban jiwa.
Tiba akhirnya
giliran gw rolling ke kelas 1. Sebelum itu gw berkonsultasi ke Bu Siska, guru
kelasnya yang kebetulan juga guru pamong materi apa yang kiranya cocok untuk
mereka namun tidak keluar dari SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi
Dasar) dalam kurikulum. Dengan sikap lemah lembutnya Bu Siska memberikan saran
mata pelajaran serta SK dan KD yang cocok. Selain berkonsultasi dengan guru
kelas, gw juga konsultasi dengan si Ratih karena dia sudah bisa nanganin 2 anak
hiper itu. Ratih bilang kalau. ada satu murid yang seolah-olah jadi satpamnya
mereka berdua, jadi kalau mereka mulai berulah maka dia yang akan bertindak
untuk meredamnya. Gw memutuskan untuk pelajaran Bahasa Indonesia menyebutkan
kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu benda karena mereka masih kesulitan
untuk berbicara. Gw menyiapkan media pembelajaran berupa gambar-gambar benda
yang nantinya ditempel di papan tulis.
Waktunya eksekusi
pun tiba, konon menurut Bu Siska mereka berdua menjadi lebih liar ketika jam
kedua setelah istirahat. Gw terpaksa mengajar di jam kedua karena pada jam
pertama mereka olahraga. Gw masuk kelas dengan sangat pede, lalu gw memberi
salam kepada mereka sambil menghitung murid yang hadir. Bu Siska di belakang
kelas mengamati kinerja mengajar gw dan membaca RPP yang gw buat. Ternyata ada 1 yang tidak datang, setelah gw
perhatikan lagi ternyata yang tidak datang itu si satpam. Gw panik namun pada
saat itu juga gw mencoba tetap tenang, gw berpikir dengan sedikit kesabaran
maka gw bisa menaklukkan mereka. Kegiatan belajar berjalan sesuai apa yang gw
rancang dalam RPP. Semua siswa mau berbicara menyebutkan gambar benda-benda
yang gw tunjukkan kemudian mereka menempelkan sesuai dengan tabel yang gw
tempel di papan tulis sampai pada penutup semuanya lancar.
Petaka dimulai
ketika mendekati jam pulang, mereka semua terlihat wujud aslinya layaknya
manusia serigala yang berubah ketika bulan purnama. Si Ebe mulai
menggoyang-goyang meja dan membuat si Wawa melempar buku ke arah si Ebe
akhirnya terjadilah perang buku dan perang ludah diantara mereka. Gw berusaha
menenangkan dan memisahkan mereka tetapi
gw malah kena ludahan mereka. Bu Siska dengan tegasnya mulai turun tangan
dengan memarahi Ebe dan Wawa. Gw kaget karena Bu Siska seperti 2 kepribadian
yang berbeda. Sepengamatan gw sebelum-sebelumnya dia adalah orang yang sabar dan lemah lembut
namun kali ini sepertinya tanduknya mulai keluar.
Emang dasar anak
autis si Ebe abis dimarahin sama Bu Siska seperti tidak merasakan apa-apa, ia hanya
bicara dengan nada seperti robot ”papa Ebe mana? Papa Ebe mana? Ebe bukan anak
nakal. Ebe anak baik.” Sedangkan si Wawa menangis lalu memeluk gw. Pada awalnya
gw merasa anak ini manis sekali lalu semuanya berubah menjadi pahit ketika ia
menggigit punggung gw. Gw teriak kesakitan dan berusaha melepas gigitannya dari
punggung gw namun bukannya dilepas si Wawa malah menarik jilbab gw sampe lepas.
Bu siska yang melihat kejadian itu langsung melerai bocah itu lalu menenangkan
gw. Tak lama kemudian kelas dibubarkan.
Setelah membetulkan
jilbab gw dan sudah merasa lebih tenang. Bu Siska melaporkan hasil
pengamatannya ke gw. Perasaannya gw pun campur aduk, gw merasa hari ini gagal
karena gw gak bisa mengkondisikan siswa dengan baik. Menurutnya cara ngajar gw
sudah bagus karena semua siswa ikut aktif dalam kegiatannya dan Bu siska tidak
mempersalahkan petaka tadi sebelum pulang karena kejadian itu hampir setiap
hari terjadi. Gw merasa lega sekaligus salut dengan Bu Siska karena ia bisa
menjadi guru yang sangat sabar namun ia juga bisa menjadi seorang guru yang
sangat tegas oleh karena itu dia mengkondisikan 2 bocah hiper itu dengan baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar