Kisah ini beneran
nyata terjadi oleh keluarga gw. Sejak lahir hingga umur 11 tahun gw tinggal di
Cipete, Jakarta Selatan dan pada saat itu kami masih mengontrak. Selama tinggal
di sana keluarga kami kerap pindah-pindah kontrakan. Kontrakan pertama
pemiliknya bernama Nyak Wani orang Betawi tapi orangnya udah alm. Pada akhir tahun 2012
lalu. Kami tinggal disana sejak orangtua gw menikah sampai nyokap hamil adik gw
yang pertama, kalau gw sendiri tiggal disana kalau diitung-itung ya sekitar 5 tahun. Rumah yang kami tempatin sangatlah
sederhana, gedenya cuma sekitar 20 meteran yang dibagi 3 petak yaitu ruang
tamu, kamar di tengah, lalu dapur dan kamar mandi. Gw disana dari lahir sampai
SD kelas 1 lalu setelah itu kami pindah ke rumah yang lebih besar dan tentu
saja masih ngontrak.
Rumah kedua yang kami
tempati pemiliknya dengan nama Mpok Ipah orang Betawi juga, ciri khas dari mpok
yang satu ini adalah teriakannya yang bisa sampai 8 oktaf. Apalagi kalau udah marahin anaknya
teriakannya bisa didengar hingga radius 50 meter. Rumah yang kami tempati ini
luasnya sekitar 40 meteran. Jarak dengan rumah yang dulu sangatlah dekat cuma di
samping rumah yang dulu. Sebenarnya enak sih tinggal di rumah itu gw sering
main atau lebih tepatnya ngeledekin si Ari, anaknya mpok Ipah yang pada saat
itu masih merangkak. Tetapi rumah ini kerap kali bocor kalau hujan deras,
selain bocor dindingnya juga kadang basah akibat rembesan air hujan. Oleh karena
itu kami tidak lama tinggal disana hanya setahun dan kemudian kami pindah lagi
ke tempat yang lebih aman dan nyaman.
Rumah ketiga yang
kami tempati pemiliknya adalah orang Batak pemiliknya adalah pak Hutapea. Ia tinggal
cukup jauh dari kontrakannya, rumah kontrakan ini adalah yang paling luas yang
pernah kami tempati yaitu sekitar 100 meteran dan dengan 5 petak karena ada 2
kamar, ruang tamu, dapur serta kamar mandi, dan teras yang lumayan besar. Jarak
dari rumah yang dulu tidak jauh cuma 50 meter tapi sudah beda RT. Rumah ini juga nyaman karena terletak di
belakang dan jauh dari keramaian apalagi tukang jualan. Alasan nyokap pindah
kesini juga karena tukang jualan yang selalu lewat depan rumah dan gw maupun
adik gw sangat suka sekali jajan. Walaupun rumah ini nyaman untuk ditinggali
tapi ini rumah paling horor yang pernah gw tempatin tapi itu nanti aja gw
ceritainnya. Kami tinggal disini selama 5 tahun hingga pada tahun 2003 kami
pindah ke Depok dan semua bermula di tempat ini.
Kontrakan ini tiap
tahunnya selalu naik 500 ribu, dari 1,5 juta hingga mentoknya 3,5 juta. Bagi
keluarga kami itu adalah jumlah yang besar. Nyokap bernegosiasi kepada pemilik
rumah untuk tidak menaikkan harganya serta meminta waktu untuk bisa membayarnya
tetapi pemilik rumah tidak mau tahu dan kami pun harus segera meninggalkan
rumah ini. Ketika sedang mengobrol dengan bokap, tiba-tiba nyokap ingat bahwa
dulu mereka pernah membeli tanah di daerah Sawangan, Depok dan mereka berpikir
untuk membangunnya. Maka orangtua gw pergi ke tempat mbah gw namanya Madinah
tetapi gw memanggilnya mbah Kebagusan karena dia tinggal di daerah Kebagusan,
Jakarta Selatan yang notabene ia adalah Budenya dari nyokap gw. Mendengar hal
tersebut mbah gw memberikan uang sebesar 10 juta untuk membangun rumah. Lalu
kami membicarakannya kepada Aa Asep, dia adalah anak temennya bokap yang dulu
menawarkan tanah tersebut. Ia bilang begini, ”Udah mas saya punya kakak ipar
tukang bangunan, kerjanya rapi, mas punya uang berapa? Dia bisa kok bangunin rumah. ” bokap gw kaget
setengah gak percaya namun Aa Asep bilang pasti rumahnya pasti jadi kok, yang
penting gak keujanan sama kepanasan.
Lalu tidak berapa
lama bokap dipertemukan dengan kakak iparnya Aa Asep. Ia pun membicarakan
rencananya untuk membangun rumah dengan budjet hanya 10 juta beserta desain
calon rumah kami. Maklum sebagai orang Jawa tulen ada itung-itungan yang gw gak
ngerti. Setelah pertemuan itu sekitar seminggu kemudian kami pindah ke
kontrakan yang lebih kecil. Besarnya sampir sama seperti yang di mpok Ipah
namun yang gw sedih adalah agak jauh dari kawasan rumah kontrakan yang horor
itu. Gw juga jarang ketemu temen-temen main gw yang tergabung dalam 5 sekawan. Kami
hanya tinggal sekitar 5 bulan saja disana sebelum akhirnya kami sekeluarga
pindah ke Depok. Hal ini dikarenakan menunggu gw sampai kenaikan kelas 2 SMP
dan SMP gw ini termasuk favorit dan untuk masuknya juga susah karena passing
gradenya tinggi, SMP itu adalah SMPN 68 Jakarta.
Sebelum pindah
kami sempat mericek calon tempat tinggal kami. Tanahnya cukup luas, sebesar 100
meter namun yang kami bangun hanya 70
meter. Dengan uang hanya 10 juta jangan harap rumah langsung jadi bagus. Pada Saat
itu rumah kami hanya berupa batako yang belum diplester maupun lepa, lantai
belum dikeramik, dan hanya beratapkan asbes tanpa plafon. Jangankan plafon
pintu kamar saja belum ada. Walaupun
begitu kami bersyukur karena kami pasti tidak akan kehujanan dan kepanasan
disini. Setelah puas melihat-lihat calon rumah kami orangtua gw memasang karpet plastik kotak-kotak hitam dan
putih untuk lantainya yang mereka beli di Tanah Abang.
Hari pindahan pun
tiba, kami benar-benar sangat sedih karena berpisah dengan tetangga-tetangga
yang sudah sperti saudara. Gw pun sedih karena berpisah dengan teman-teman
serta lingkungan tempat gw menghabiskan masa kecil disini. Tetangga-tetangga
banyak yang datang untuk membantu bahkan ada yang ikut mengantar kami sampai
sana. Perpisahan kami diliputi rasa haru yang mendalam tatkala gw melihat
nyokap dan temannya berpelukan sambil menangis ketika mereka mau pulang kembali
ke Cipete. Gw pun jadi ikut menangis dan ingat perpisahan gw dengan teman-teman
disana.
Setelah pindah, gw
sering berkunjung ke Cipete untuk ketemu teman dan tetangga-tetangga dulu. Gw juga
mampir ke rumah tempat gw dulu tinggal.. Belum lama ini gw melihat di tembok
teras mantan rumah gw ternyata masih ada tulisan tangan gw yang berbunyi Anggie
dan Farhan. Farhan adalah nama adik gw yang pertama, wah ternyata sejak gw
pindah hingga saat ini ternyata semuanya belum berubah. Anggap aja itu adalah
kenang-kenangan dari gw selama gw tinggal disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar